Suberbhayangkara.my.id, | Banyuwangi – Isu tambang emas Tumpang Pitu, Kecamatan Pesanggaran, kembali menjadi topik panas setelah sidang lanjutan digelar di Pengadilan Negeri Banyuwangi. Tokoh kritis Banyuwangi, Holili Abdulgani, SH, SAG, hadir langsung untuk memantau jalannya persidangan dan menyampaikan sejumlah catatan keras terkait dugaan ketidakberesan pengelolaan tambang.

 

Holili menilai, selama bertahun-tahun masyarakat Banyuwangi hanya menerima potongan informasi yang simpang siur terkait aktivitas tambang. Sementara itu, kerusakan ekologi yang terjadi justru semakin nyata.

 

Dalam wawancara usai sidang, Holili menegaskan:

 

“Banyuwangi tidak boleh dijadikan korban kepentingan segelintir orang. Tumpang Pitu bukan isu kecil. Ini menyangkut keselamatan ekologis, ekonomi masyarakat, dan integritas hukum kita.”

 

Menurutnya, sejumlah kejanggalan harus segera dibuka:

 

Dugaan perluasan area tambang melampaui izin operasi

 

Tidak sinkronnya dokumen AMDAL dengan kondisi lapangan

 

Rusaknya kawasan hutan lindung yang seharusnya tidak tersentuh

 

Dampak sosial terhadap nelayan, petani, dan warga pesisir

 

Dugaan adanya kekuatan tertentu yang menekan penegakan hukum

 

 

Holili menilai bahwa kasus Tumpang Pitu sudah memasuki fase yang “tidak wajar”.

 

“Kalau aparat berani, sebenarnya kasus ini bisa dibongkar tuntas. Tinggal kemauan politiknya. Jangan sampai hukum hanya tajam ke bawah tapi tumpul ke atas,” katanya tegas.

 

Ia meminta semua pihak, termasuk pemerintah daerah, aparat kepolisian, kejaksaan, hingga PN Banyuwangi untuk bekerja secara independen tanpa intervensi siapa pun.

 

“Hutan yang rusak bisa pulih. Tapi kepercayaan publik yang rusak? Itu lebih sulit diperbaiki,” tambahnya.

 

Holili juga mengingatkan bahwa tambang emas bukan sekadar proyek ekonomi, tetapi ancaman jangka panjang jika tidak dikendalikan dengan ketat. Ia menyebut potensi banjir bandang, longsor, dan pencemaran sungai sebagai ancaman nyata yang kini mulai dirasakan warga selatan Banyuwangi.

 

Publik kini menaruh harapan besar pada proses persidangan untuk membuka fakta apa adanya, bukan sekadar formalitas administratif. Kasus ini menjadi titik krusial apakah Banyuwangi berpihak pada lingkungan dan masyarakat, atau kembali tunduk kepada kekuatan modal.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *